Najis adalah kotoran yang diwajibkan bagi setiap Muslim untuk membersihkan dan mensucikan darinya jika mengenai sesuatu. Allah berfirman,
"Dan pakaianmu bersihkanlah." (Al-Muddatstsir [74]: 4)
Juga dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (Al-Baqarah [2]: 222)
Rasulullah saw. bersabda,
"Bersuci adalah sebagian dari iman."
Terkait dengan najis, ada beberapa permasalahan yang akan diuraikan lebih detail sebagaimana berikut:
Jenis-jenis Najis
1. Bangkai
Bangkai merupakan binatang yang mati dengan tanpa proses penyembelihan, sebagaimana yang telah ditentukan syariat Islam. Anggota tubuh binatang yang dipotong ketika masih hidup juga masuk dalam kategori bangkai. Sebagai dasar atas hal tersebut adalah hadits Abu Waqid al-Laitsi, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
"Apa saja anggota tubuh hewan ternak yang dipotong sedangkan hewan itu masih hidup, maka ia termasuk bangkai." ³
Najis terbagi menjadi dua bagian:
-
Najis haqiqi: najis yang dapat dirasa dan dilihat secara kasat mata, seperti kencing dan darah.
-
Najis hukmi: najis yang tidak dapat dirasa dan dilihat, seperti junub.
a. Bangkai ikan dan belalang
Kedua bangkai hewan tersebut tetap suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar ra., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
"Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan darah. Adapun dua jenis bangkai yang dimaksud adalah bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis darah adalah hati dan limpa."
HR Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Daruquthni.
Hadits ini dianggap dha’if, namun maknanya diperkuat oleh sabda Rasulullah saw.:
"Air laut itu suci dan bangkainya halal (dimakan)."
b. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir
Seperti semut, lebah, dan sejenisnya. Status bangkai binatang ini suci. Jika jatuh ke dalam sesuatu lalu mati di dalamnya, ia tidak menjadikannya najis. Sebagian ulama berbeda pendapat, namun pendapat masyhur dalam mazhab Syafi’i: bangkai seperti ini adalah najis jika terkena air, kecuali bila tidak mengubah zatnya.
c. Tulang, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit bangkai
Benda-benda ini suci, meskipun berasal dari bangkai. Az-Zuhri berkata, ia pernah melihat ulama salaf memanfaatkan tulang belulang bangkai (seperti gading gajah) untuk sikat dan minyak rambut.
Hadits dari Ibnu ‘Abbas ra.:
Maula Maimunah memberikan seekor kambing yang kemudian mati. Rasulullah saw. bertanya:
"Apakah kamu mengambil kulitnya lalu menyamaknya dan memanfaatkannya?"
Para sahabat menjawab: “Kambing itu sudah menjadi bangkai.” Rasulullah saw. bersabda:
"Yang diharamkan hanyalah memakannya saja."
“…Katakanlah: ‘Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai…’” (Al-An‘ām [6]: 145)
Lebih lanjut, Ibnu Abbas menjelaskan, “Yang diharamkan hanya bagian-bagian yang dapat dimakan, yaitu daging. Sedangkan kulit, lemak, gigi, tulang, rambut dan bulu binatang tersebut tetap dihalalkan.” HR Ibnu Mundzir dan Ibnu Abi Hatim.
Demikian juga dengan air susu bangkai, ia suci. Ketika para sahabat menaklukkan Negeri Iraq, mereka memakan keju orang-orang Majusi yang terbuat dari susu, padahal (hasil) sembelihan mereka dianggap sama seperti bangkai. Dalam sebuah riwayat dari Salman al-Farisi ra., ia pernah ditanya tentang keju, lemak dan bulu. Ia menjawab, “Yang dimaksud dengan halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya. Dan yang dimaksud dengan haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sementara perkara-perkara yang tidak dijumpai keterangannya, maka itu merupakan sesuatu yang dimaafkan.”
Kita mengetahui bahwa pertanyaan ini berkaitan dengan keju milik orang Majusi, yaitu ketika Salman menjabat sebagai Gubernur pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab di wilayah Mada’in.
2. Darah
Semua jenis darah hukumnya haram, baik darah yang mengalir maupun tidak. Contoh darah yang mengalir adalah darah dari hewan yang disembelih dan darah haid. Tetapi, darah yang sedikit jumlahnya masih dimaafkan.
Allah berfirman,
“…atau darah yang mengalir…” (Al-An‘ām [6]: 145)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Juraij berkata, “Kata Al-Masfuh dalam ayat di atas maksudnya adalah darah yang mengalir.”
Sementara darah yang berada dalam urat dan rongga tulang daging hewan yang dapat dimakan dagingnya masih dimaafkan.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Abu Mijlaz, ia pernah ditanya tentang darah yang terdapat pada bekas sembelihan kambing atau darah yang ada pada saat dagingnya dimasak dalam periuk. Ia menjawab, “Tidak mengapa, sebab yang dilarang hanyalah darah yang mengalir.” HR Abdul Hamid dan Abu Asy-Syeikh.
Dari Aisyah ra., ia berkata, “Kami biasa memakan daging, sedangkan darahnya masih nampak jelas bagaikan lilitan benang dalam periuk.”
Al-Hasan berkata, “Kaum Muslimin tetap mengerjakan shalat, meskipun sebagian anggota tubuh mereka terdapat luka yang mengalirkan darah.” HR Bukhari.
Dalam riwayat yang sahih dari Umar ra. disebutkan bahwa beliau pernah shalat sedangkan lukanya masih mengalirkan (yats’abu’) darah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari.
Abu Hurairah ra. berpendapat, bahwa seseorang tetap dibolehkan mengerjakan shalat, jika didapati setetes atau dua tetes darah.
Darah nyamuk dan darah yang menetes dari bisul juga dimaafkan berdasarkan berbagai atsar yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Mijlaz pernah ditanya mengenai nanah yang bercampur darah yang mengenai tubuh atau pakaian. Ia menjawab, “Hal itu tidak mengapa, sebab Allah hanya menyebutkan darah, bukan nanah.”
Ibnu Taimiyyah mempunyai pendapat lain. Ia berkata, “Wajib mencuci pakaian yang terkena nanah beku dan nanah yang bercampur darah. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang menjelaskan tentang hukum kenajisannya.” Meskipun demikian, kita harus selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari benda-benda tersebut.
3. Daging babi
Allah swt. berfirman,
“…atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor…” (Al-An‘ām [6]: 145)
Dengan kata lain, semua yang disebutkan dalam ayat ini merupakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak disenangi oleh kebanyakan orang. Kata ganti “Hu” (dia) dalam ayat di atas kembali pada ketiga jenis benda yang telah disebut sebelumnya, yaitu bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.
Menurut pendapat ulama yang kuat, bulu babi boleh dijadikan untuk benang jahit.
4. Muntah, air kencing, kotoran manusia
Para ulama sepakat bahwa semua benda di atas (muntah, air kencing, dan kotoran manusia pada umumnya) adalah najis. Tapi untuk muntah yang sedikit, ia masih dimaafkan. Begitu juga halnya dengan kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu ibu (ASI), cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air.
Adapun dalilnya adalah hadits Ummu Qais ra., “Dia pernah mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum memakan makanan apapun. Saat itu, sang bayi kencing di pangkuan beliau. Lalu Rasulullah saw. meminta air dan memercikkannya (an-Nadhu) pada pakaian yang terkena kencing bayi.”
Ali ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
“Kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air padanya, sedangkan kencing bayi perempuan hendaknya dicuci.”
Qatadah berkata, “Kondisi yang sedemikian itu, selama bayi belum diberi makan. Tetapi, jika sudah diberi makan sebagaimana layaknya orang dewasa, maka (tempat yang terkena kencingnya) wajib dicuci.” HR Ahmad.
Redaksi hadits di atas sesuai dengan riwayat Imam Ahmad dan Ashhāb as-Sunan kecuali Nasai. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bāri, sanad hadits ini sahih.
Jadi, cara menyucikan kencing laki-laki yang belum memakan makanan apapun selain air susu ibunya cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena air kencingnya. Tapi, apabila bayi sudah diberi makan, para ulama sepakat, bahwa air kencingnya harus dicuci (sebagaimana layaknya air kencing orang dewasa). Mungkin salah satu alasan, mengapa air kencing bayi laki-laki cukup hanya dengan memercikkan air padanya adalah, karena banyak orang yang ingin menggendongnya. Sedangkan bayi laki-laki sering kali kencing, sehingga apabila diwajibkan memucuci pakaian yang terkena kencingnya, tentu hal ini akan memberi kesusahan dan kesulitan. Karenanya, jika bayi laki-laki kencing, cara untuk menyucikannya cukup dengan memercikkan air.
7. Wadi
Wadi adalah air berwarna putih kental yang keluar mengiringi air kencing. Para ulama sepakat dan tidak ada perbedaan di antara mereka bahwa wadi hukumnya adalah najis. Aisyah ra. berkata, “Wadi keluar setelah kencing. Karena itu, hendaknya seseorang mencuci kemaluannya, lalu wudhu dan tidak perlu mandi.” HR Ibnu Mundzir.
Mengenai sperma, wadi dan madzi, Ibnu Abbas ra. mengatakan, “Keluarnya sperma mewajibkan mandi (besar). Sementara keluarnya madzi dan wadi tidak mewajibkan mandi dan orang yang bersangkutan tetap dalam keadaan suci (dari hadas besar).” HR Atsram dan Baihaki.
Sedangkan redaksi Baihaki adalah, “Jika kamu keluar wadi dan madzi, maka cucilah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk mengerjakan shalat.”
8. Madzi
Madzi adalah air berwarna putih berlendir yang keluar akibat mengkhayal bersetubuh atau efek dari cumbu rayu. Terkadang, seseorang tidak merasakan apa-apa pada saat keluarnya madzi. Madzi dapat keluar dari kaum laki-laki dan perempuan, tapi biasanya kaum perempuan lebih banyak mengeluarkan madzi. Para ulama sepakat bahwa madzi hukumnya najis. Dan jika mengenai anggota badan, maka wajib dicuci. Jika terkena pakaian, cara menyucikannya cukup dengan memercikkan air padanya, sebab madzi termasuk bentuk najis yang sulit dihindari. Di samping itu, madzi juga sering dialami para remaja. Karenanya, madzi lebih layak mendapatkan keringanan dibandingkan air kencing bayi laki-laki sekali pun.
Dari Ali ra., ia berkata:
"Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Kemudian aku menyuruh seseorang agar menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw.. Karena aku malu bertanya secara langsung, mengingat posisi puterinya (sebagai isteriku). Ia lantas menanyakan kepada Rasulullah saw. dan beliau menjawab, 'Berwudlulah dan cucilah kemaluanmu'!" HR Bukhari
Dari Sahal bin Hanif ra., ia berkata, “Aku sering menghadapi kesulitan dengan seringnya keluar madzi, sehingga aku sering mandi. Akhirnya, aku ceritakan keadaan ini kepada Rasulullah saw.. Beliau lalu bersabda, ‘Kamu cukup dengan berwudhu!’ Aku bertanya lagi, wahai Rasulullah, bagaimana cara membersihkannya jika mengenai pakaianmu? Beliau menjawab, ‘Cukup dengan mengambil air, lalu memercikkannya ke pakaianmu yang terkena madzi’.” HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Ia berkata, hadits ini hasan sahih.
Dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Ishaq. Beliau dianggap sebagai perawi yang dha’if, jika meriwayatkan hadits dengan menggunakan redaksi ‘ana’ (dari perawi si fulan). Sebab, hadits di atas terdapat perawi yang mudallas. Namun, pada konteks ini, ia meriwayatkan hadits dengan redaksi haddatsana (telah bercerita kepada kami), karenanya, ia tidak dianggap sebagai dha’if.
Al-Astram ra. juga meriwayatkan hadits ini dengan redaksi, “Aku banyak menemukan kesusahan karena madzi sering keluar. Lalu aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan masalah yang aku alami. Beliau lantas bersabda, ‘Kamu cukup mengambil air, lalu memercikkan padanya.’”
9. Sperma
Sebagian ulama berpendapat bahwa sperma adalah najis. Sebagian yang lain, dan ini yang paling kuat, berpendapat bahwa sperma adalah suci. Meskipun demikian, tetap dianjurkan untuk mencuci jika masih basah, dan jika sudah mengering, hendaknya dikorek. Aisyah ra. berkata, “Aku sering mengorek sperma dari pakaian Rasulullah saw. jika sudah kering, dan aku mencucinya jika masih basah.” HR Daruquthni, Abu Awanah dan Bazzar
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, Rasulullah saw. ditanya mengenai sperma yang mengenai pakaian. Beliau menjawab:
"Sesungguhnya posisinya tak ubahnya ingus dan dahak. Jadi, kamu cukup mengoreknya dengan sehelai kain atau dedaunan.” HR Daruquthni, Baihaki dan Thahawi
Hadits ini masih diperdebatkan oleh para ulama, apakah ia termasuk hadits marfū’ atau hadits mauqūf.
10. Kencing dan kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya
Kencing dan kotoran binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan hukumnya adalah najis. Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Mas’ud ra., ia berkata, Ketika Rasulullah saw. hendak ke kamar kecil, beliau menyuruhku menyediakan tiga biji batu. Namun, aku hanya menemukan dua biji. Lalu aku mencari satu batu lagi, dan tidak menemukannya. Akhirnya, aku pun mengambil kotoran hewan (yang sudah kering) dan menyerahkannya kepada beliau. Beliau hanya mengambil kedua batu, dan membuang kotoran hewan seraya berkata, “Ini adalah benda najis.” HR Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya benda ini adalah najis, dan ia adalah kotoran keledai.”
Adapun hukum kotoran hewan, jika ia sedikit, maka hukumnya dimaafkan, sebab untuk menghindar darinya sulit dilakukan. Al-Walid bin Muslim berkata: Saya pernah bertanya kepada al-Auza’i, “Apa hukum benda yang terkena kencing binatang yang tidak dapat dimakan dagingnya seperti, keledai dan kuda?” Al-Auza’i menjawab, “Umat Islam kerap menghadapi permasalahan ini khususnya pada saat berada dalam peperangan. Mereka tidak mencuci kotoran tersebut apabila terkena pakaian atau tubuh mereka disebabkan kesulitan yang dihadapi.” Di sisi lain, Imam Malik, Ahmad dan segolongan ulama mazhab Syafi’i berpendapat, bahwa kencing dan kotoran hewan yang dapat dimakan dagingnya adalah suci. Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak seorang pun di antara sahabat yang mengatakan bahwa kencing dan kotoran hewan yang dapat dimakan dagingnya adalah najis. Sementara pendapat yang menyatakan najis merupakan ucapan yang mengada-ada dan tidak berdasarkan pada pendapat para sahabat.”
Anas ra. berkata, “Masyarakat ‘Ukal dan ‘Urainah datang ke Madinah, karena menderita wabah penyakit diare yang berkepanjangan. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan mereka agar mencari unta perahan kemudian meminum air kencing dan susunya.” HR Ahmad, Bukhari dan Muslim
Hadits ini menjadi dalil atas sucinya air kencing unta. Sementara binatang-binatang lain yang dapat dimakan dagingnya dianalogikan pada hadits di atas.
Ibnu Mundzir berkata, “Bagi yang menyatakan bahwa hadits tersebut hanya dikhususkan kepada kabilah ‘Ukal dan ‘Urainah, maka pernyataan yang dikemukannya salah. Sebab, pengkhususan seperti ini tidak dapat diterima, kecuali jika disertai dengan dalil yang lebih kuat.”
Ibnu Mundzir menambahkan, “Tindakan ulama yang membiarkan masyarakat umum menjual kotoran kambing di pasar dan menggunakan kencing unta untuk tujuan pengobatan sejak dulu hingga sekarang tanpa adanya bantahan dan teguran dari mereka, merupakan salah satu bukti atas kesuciannya.”
Asy-Syaukani berkata, “Pendapat yang kuat mengenai kencing dan kotoran hewan yang dapat dimakan dagingnya adalah suci. Hal ini berlandaskan pada hukum asal dan mengamalkan al-Barā’ah al-Ashliyyah, yang berarti hukum sesuatu pada asalnya adalah suci. Sedangkan menganggap suatu benda itu najis, merupakan ketentuan hukum syara’ yang mengeluarkannya dari hukum asal dan al-Barā’ah al-Ashliyyah. Oleh karena itu, pemindahan hukum asal tanpa disertai dalil syara’, tidak dapat diterima. Sebab ulama yang berpendapat bahwa air kencing dan kotoran binatang yang dapat dimakan dagingnya tetap suci, berdasarkan pada dalil. Sementara ulama yang mengatakan najis, tidak bersandarkan pada alasan dan dalil yang kuat.
11. Binatang Jallalah
Terdapat beberapa hadits yang melarang menunggangi, memakan daging dan meminum susu binatang semacam ini. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. melarang meminum air susu binatang jallalah.” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi.
Tirmidzi berkata, “Hadits ini sahih.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Rasulullah saw. melarang menunggangi binatang jallalah.” HR Abu Daud
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai peliharaan dan binatang jallalah, begitu juga melarang menunggangi maupun memakan dagingnya.” HR Ahmad, Nasai dan Abu Daud
Adapun yang dimaksud dengan jallalah adalah binatang seperti unta, sapi, kambing, ayam dan itik yang suka memakan kotoran sehingga bau hewan tersebut berubah. Tetapi, jika hewan-hewan itu dikurung sehingga tidak memakan kotoran dalam jangka waktu yang lama, kemudian kembali memakan makanan yang suci sehingga dagingnya tidak berbau dan nama jallalah tidak lagi menjadi sebutan bagi hewan tersebut, maka dagingnya halal dimakan. Sebab, ‘illat atau alasan atas pelarangannya telah berubah dan hilang. Sedangkan, ketika masih memakan kotoran, maka ‘illat-nya masih nampak dan tidak ada perubahan. Oleh karena itu, dagingnya tidak boleh dimakan.
12. Minuman keras
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa minuman keras atau arak hukumnya adalah najis. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Mā’idah [5] : 90)
Sedangkan, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa khamr adalah suci. Sebab, kata rijsun yang bermakna najis, sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai najis maknawi. Di samping itu, kata rijsun berkedudukan sebagai predikat dari kata khamr, termasuk juga beberapa kata yang disebut setelahnya. Berdasarkan pada pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa khamr tidak dapat dikatakan sebagai najis. Allah swt. berfirman,
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.” (Al-Hajj [22] : 30)
Dalam ayat tersebut, berhala diartikan najis, tapi najis yang bersifat maknawi, sehingga orang yang menyentuhnya tidak najis. Ayat tersebut dapat ditafsirkan, bahwa khamr merupakan perbuatan setan yang dapat menimbulkan permusuhan, saling membenci, menjadi penghalang untuk berdzikir kepada Allah dan melakukan shalat. Dalam kitab Subul as-Salām disebutkan, Pendapat yang benar, hukum asal semua benda adalah suci. Diharamkannya suatu benda bukan berarti ia najis. Contohnya, obat-obatan yang memabukkan. Secara hukum, benda ini haram, tetapi tetap suci. Beda halnya dengan benda najis, karena benda najis pasti diharamkan. Kesimpulannya adalah, bahwa setiap benda yang najis adalah haram, dan benda yang haram belum tentu najis. Maksudnya, menetapkan sesuatu sebagai najis, berarti melarang menyentuhnya dengan cara apapun. Dan menetapkan suatu benda sebagai sesuatu yang najis, berarti menetapkan keharamannya. Berbeda halnya dengan menetapkan hukum haramnya, seperti diharamkan memakai sutra dan emas bagi setiap laki-laki muslim. Padahal keduanya merupakan benda suci berdasarkan keterangan syara’ dan ijma’. Namun, kedua benda tersebut (sutra dan emas) tidak najis.
Jika kita sudah memahami masalah ini dengan baik, maka dapat disimpulkan bahwa khamr dengan berbagai jenisnya seperti yang telah dijelaskan oleh nash, bukanlah termasuk benda najis. Dan jika ada yang tetap memahami bahwa khamr adalah benda najis, maka ia harus mengemukakan dalil yang menyatakan akan hal itu. Jika tidak, khamr tetap dianggap sebagai benda suci berdasarkan hukum asal yang telah disepakati oleh para ulama.
13. Anjing
Anjing hukumnya najis dan jika ada benda yang dijilatnya, maka benda tersebut harus dicuci sebanyak tujuh kali, dan yang pertama kalinya harus disertai dengan debu. Sebagai dalilnya adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah ra., di mana ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana salah seorang dari kalian apabila dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali; yang pertama kalinya harus (dicampur) dengan debu.” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud dan al-Baihaqi)
Yang dimaksud dengan menggunakan debu adalah mencampur air dengan debu sehingga air tersebut menjadi keruh.
Jika ada anjing yang menjilat ke dalam bagian bejana yang berisikan makanan kering, maka makanan yang terkena jilatan dan sekitarnya harus dibuang. Sedangkan sisanya tetap dalam keadaan suci dan boleh dimakan. Sedangkan bulu anjing, berdasarkan pendapat yang kuat adalah suci, karena tidak ada dalil yang menyatakan atas kenajisannya.
Cara Menyucikan Badan dan Pakaian
Jika ada najis mengenai pakaian atau badan, hendaknya dicuci dengan air sampai hilang, jika memang najis tersebut dapat dilihat, seperti darah. Namun apabila setelah dicuci tetap masih ada bekasnya dan sulit dihilangkan, maka kondisi seperti ini dimaafkan. Jika najis itu tidak dapat dilihat seperti air kencing, maka cukup dengan mencucinya, meskipun hanya sekali cucian. Dalilnya adalah hadits Asma’ binti Abu Bakar ra. Ia berkata, “Salah seorang perempuan datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, apa yang mesti dilakukan?’”
Beliau menjawab,
تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“‘Hendaknya ia mengerok darah tersebut, kemudian menggosoknya, lalu menyiramnya dengan air. Setelah itu, pakaian tersebut dapat digunakan untuk shalat.’”
Jika najis tersebut terkena pada bagian ujung bawah pakaian seorang perempuan, maka ia menjadi suci saat tersentuh tanah (pada langkah kaki) berikutnya. Dalilnya adalah hadits berikut, “Seorang perempuan bertanya kepada Ummu Salamah ra., ‘Pakainku sangat panjang hingga terjulur menyentuh tanah. Pada saat itu, saya berjalan di tempat yang kotor. Bagaimanakah cara menyucikannya?’ Ummu Salamah menjawab bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Gesekan setelahnya dari pakaian tersebut menjadikannya suci.’” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Cara Menyucikan Tanah
Cara menyucikan tanah jika terkena najis adalah dengan cara menyiramkan air di atasnya. Sebagai landasan atas hal tersebut adalah sebuah hadits dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Seorang pedalaman berdiri lalu kencing dalam masjid. Para sahabat bangkit untuk menegurnya. Melihat hal itu, Rasulullah saw. lantas bersabda,
دَعُوهُ وَأَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Biarkan dia! Siramkanlah kencingnya itu dengan satu timba air. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk mendatangkan kesulitan.”
Tanah yang terkena najis juga menjadi suci dengan sendirinya apabila telah kering, demikian juga benda-benda yang berada di sekelilingnya, seperti pohon dan bangunan. Abu Qilabah berkata, “Keringnya tanah, menjadikannya suci.”
Aisyah ra., berkata, “Tanah (yang terkena najis) akan menjadi suci bila sudah kering.” (HR Ibnu Abu Syaibah)
Hal ini berlaku apabila benda najis yang mengenainya berupa cairan. Tetapi, jika benda najis yang mengenainya telah membeku dan (membekas), maka cara untuk menyucikannya adalah dengan membuang najis yang menempel padanya.
Cara Membersihkan Mentega dan Sejenisnya
Dari Ibnu Abbas ra., dari Maimunah ra., ia berkata, Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai tikus yang terjatuh ke dalam mentega. Beliau menjawab,
أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ وَكُلُوا سَمْنَكُمْ
“Buanglah tikus itu dan bagian yang berada di sekitarnya. Setelah itu, makanlah mentega itu.” (HR Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Menurut Ibnu Abdul Barr, para ulama sepakat bahwa apabila bangkai masuk ke dalam makanan yang beku, maka buanglah bangkai itu dan yang di sekitarnya. Dengan kata lain, seluruh benda yang tersentuh bangkai wajib dibuang bersamaan dengan bangkai yang menyentuhnya.”
Jika bangkai masuk ke dalam makanan yang cair, para ulama berbeda pendapat mengenai cara menyucikannya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila bangkai tersebut jatuh dan masuk ke dalam benda cair, maka semuanya menjadi najis. Tapi ada sebagian kecil ulama, di antaranya az-Zuhri dan al-Auza’i yang mengemukakan pendapat yang berlainan dengan mayoritas ulama tersebut.
Cara Menyucikan Kulit Bangkai
Kulit bangkai, baik bagian luar maupun dalam, dapat disucikan dengan cara menyamaknya. Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Abbas ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
"Jika kulit (bangkai) telah disamak, maka ia menjadi suci."
(HR Bukhari dan Muslim)
Cara Menyucikan Cermin dan Sejenisnya
Cara menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana yang mengkilat dan setiap kepingan yang licin adalah dengan cara mengusapnya, sehingga bekas najis yang menempel padanya hilang. Para sahabat pernah mengerjakan shalat sambil membawa pedang yang terkena darah dalam peperangan. Mereka mengusap mata pedang yang dibawanya dan cara seperti ini mereka anggap sudah cukup untuk menyucikannya.
Cara Menyucikan Sandal
Cara menyucikan sandal dan sepatu yang terkena najis adalah dengan menggosokkannya ke tanah sampai bekas najis yang menempel padanya hilang. Sebagai landasan atas hal ini adalah sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah ra., di mana ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
"Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah (yang dipijak) dapat menyucikannya."
(HR Abu Daud)
Dalam riwayat lain disebutkan,
"Jika seseorang menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka tanahlah yang akan menyucikan keduanya."
Juga hadits yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri. Ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
"Jika salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, hendaknya ia membalikkan kedua sandalnya dan memperhatikan bagian telapaknya. Jika terdapat kotoran, hendaknya menggosokkannya ke tanah, kemudian ia dibolehkan memakainya untuk shalat."
(HR Ahmad dan Abu Daud)
Sepatu dan sandal merupakan benda yang sering kali terkena najis. Oleh karena itu, untuk menyucikannya cukup diusapkan pada benda kasar, sebagaimana halnya beristinja’ dengan batu atau benda padat lainnya. Bahkan cara untuk menyucikan sandal bisa dibilang lebih mudah daripada beristinja’, karena beristinja’ membutuhkan dua atau tiga batu, sementara sandal cukup dengan menggosokkannya ke benda padat.
Beberapa Hal yang Sering Dijumpai dalam Kehidupan Sehari-hari
-
Tali Jemuran
Jika tali yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian yang terkena najis, kemudian ia kering disebabkan sinar matahari atau tiupan angin, maka tali tersebut dapat digunakan untuk menjemur pakaian yang suci sampai kering. -
Air yang Jatuh dan Mengenai Tubuh
Jika seseorang ditimpa oleh sesuatu yang tidak diketahuinya, apakah air itu biasa (suci) atau air kencing, maka ia tidak perlu memastikan benda yang jatuh mengenainya. Tapi, jika ia tetap ingin mengetahui air yang mengenainya dengan bertanya (kepada seseorang), maka orang yang ditanya tidak diwajibkan memberi jawaban, meskipun ia tahu bahwa benda yang jatuh dan mengenainya sebenarnya benda najis. Di samping itu, orang yang bertanya tidak wajib mencucinya.Yang menjadi dasar atas hal ini adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, bahwa suatu hari Umar ra. melewati sebuah tempat. Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari pancuran air dan mengenai Umar. Salah seorang sahabat yang ikut dalam perjalanan bersama Umar bertanya, “Wahai pemilik pancuran, apakah airmu suci atau najis?” Mendengar hal itu, Umar pun berkata, “Wahai pemilik pancuran, kamu tidak perlu menjawab pertanyaan sahabat kami ini.” Umar tidak menghiraukan benda yang jatuh kepada dirinya, dan beliau pun meneruskan perjalanannya.
-
Tanah Jalanan
Tidak wajib mencuci sesuatu yang terkena tanah yang ada di jalanan. Kumail bin Ziyad berkata, “Saya melihat Ali ra. berjalan di tengah-tengah lumpur setelah hujan turun. Namun, beliau terus masuk ke dalam masjid, lalu mengerjakan shalat tanpa membasuh kedua kakinya terlebih dahulu.” -
Najis yang Baru Diketahui Saat Shalat
Jika seseorang telah mengerjakan shalat, tiba-tiba terlihat najis pada pakaian atau bagian badannya yang sebelumnya tidak diketahui, atau mengetahuinya tapi lupa membersihkannya, atau pun tidak lupa tapi tidak sanggup menanggalkannya, maka shalatnya tetap sah dan ia tidak perlu mengulangi shalatnya.
Sebagai landasan atas hal ini adalah firman Allah swt.,
"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya"
(Al-Ahzab [33]: 5)
Inilah pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas kalangan sahabat dan tabi’in.
-
Tidak Tahu Letak Najis di Pakaian
Seseorang yang tidak mengetahui letak najis di pakaiannya, ia diwajibkan mencuci semua pakaiannya. Sebab, tidak ada cara lain untuk menghilangkan najis tersebut melainkan dengan cara mencuci keseluruhan pakaian itu. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan, “Suatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka perkara yang lain tersebut menjadi wajib.” -
Pakaian Suci dan Najis Bercampur
Jika pakaian milik seseorang bercampur antara yang suci dengan yang terkena najis sehingga ia ragu saat memilih mana yang suci dan mana yang (terkena) najis, maka ia diharuskan memilih pakaian yang dianggap suci sesuai kemantapannya. Namun, ia hanya boleh memakainya untuk sekali shalat saja, baik pakaian yang ada itu sedikit ataupun banyak. Karena masalah ini sama halnya dengan menentukan arah kiblat.
Komentar
Posting Komentar