Ada beberapa etika dan tata krama yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim ketika hendak qadha’ hajat (buang air besar atau air kecil). Di antaranya adalah:
-
Tidak diperkenankan membawa benda apapun yang bertuliskan lafal Allah, kecuali jika dikhawatirkan akan hilang atau karena tidak adanya tempat penitipan barang. Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Anas ra., bahwasanya Rasulullah saw. memakai cincin yang bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. Setiap kali hendak masuk ke dalam toilet, beliau melepaskannya terlebih dahulu. (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi komentar berkaitan hadits ini dengan berkata, “Ini hadits ma’lu (cacat)”. Abu Daud juga berkata, “Ini hadits munkar”. Meskipun begitu, bagian pertama dari hadits ini adalah sahih.
-
Menjauh dan memasang tabir sehingga tidak terlihat oleh orang lain, terutama saat buang air besar. Hal ini bertujuan agar suara yang keluar darinya tidak terdengar atau baunya tidak tercium oleh orang lain. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Jabir ra. Ia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِي البَرَازَ حَتَّى يَغِيبَ فَلاَ يُرَى
"Kami pernah bepergian bersama Nabi ﷺ, dan beliau tidak mendatangi tempat buang air (besar) kecuali setelah menjauh hingga tidak terlihat."
"Kami bepergian bersama Rasulullah saw., beliau tidak buang air besar kecuali jika sudah berada di tempat yang sunyi dan jauh dari penglihatan orang lain." HR Ibnu Majah.
Abu Daud meriwayatkan,
كَانَ إِذَا أَرَادَ الْبَرَازَ انْطَلَقَ حَتَّى لَا يَرَاهُ أَحَدٌ
"Apabila Rasulullah saw. hendak buang air besar, beliau menjauh sehingga tidak terlihat oleh seorangpun."
Dalam riwayatnya yang lain, ia berkata, "Apabila Rasulullah saw. mencari tempat buang air, beliau mencari tempat yang jauh."
3. Membaca basmalah dan isti‘adzah dengan suara keras ketika hendak masuk ke dalam jamban dan ketika hendak mengangkat pakaiannya jika berada di tanah lapang. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Anas ra., di mana ia berkata, apabila Rasulullah saw. hendak memasuki jamban, beliau membaca,
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
"Dengan nama Allah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan laki-laki dan setan perempuan."
4. Hendaknya menahan dari pembicaraan, baik berupa dzikir atau yang lain. Oleh karena itu, orang yang berada dalam jamban tidak diwajibkan menjawab salam atau adzan. Kecuali jika ada sesuatu yang amat penting, seperti memberi arahan kepada orang buta yang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam jurang. Jika seseorang yang berada di dalam jamban bersin, cukup baginya membaca hamdalah dalam hati tanpa mengucapkannya dengan lisan.
Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Ibnu Umar ra., bahwasanya ada seorang lelaki melintasi Rasulullah saw. yang saat itu beliau sedang buang air kecil. Lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Rasulullah saw., tapi beliau tidak menjawab salamnya.
Abu Sa‘id ra. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Jangan sampai ada dua orang laki-laki masuk ke dalam satu jamban secara bersamaan, lalu keduanya membuka aurat sambil berbincang-bincang, sebab Allah amat murka dengan perbuatan yang demikian itu." HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah.
5. Hendaknya tetap mengagungkan kiblat dengan tidak menghadap ke arahnya ataupun membelakanginya. Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا
"Jika salah seorang dari kalian duduk untuk buang hajat, hendaknya ia tidak menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya." HR Ahmad dan Muslim.
Larangan dalam hadits ini mengandung arti makruh berdasarkan penjelasan hadits dari Ibnu Umar ra. Ia berkata,
رَقِيتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ عَلَى حَاجَتِهِ مُسْتَدْبِرَ الشَّامِ مُسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةِ
"Pada suatu hari, saya memasuki rumah Hafshah. Dan saya melihat Nabi Muhammad saw. sedang membuang hajat dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi arah Ka‘bah."
Dari kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa larangan menghadap ke arah kiblat jika berada di tanah lapang. Sementara kalau berada dalam ruangan tertutup, diperbolehkan menghadap arah manapun termasuk ke arah kiblat.
6. Hendaknya mencari tempat yang lembab dan rendah agar yang bersangkutan tidak terkena najis. Sebagai landasan atas hal ini adalah sebuah hadits yang berasal dari Abu Musa ra., ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw. pergi ke suatu tempat yang rendah yang berdekatan dengan perkebunan (kurma di Madinah). Di sana beliau membuang air kecil. Lantas beliau bersabda,
إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَخَيَّرْ لِبَوْلِهِ
"Jika salah seorang dari kalian hendak membuang air kecil, maka hendaknya ia memilih tempat yang lebih rendah untuk kencing." HR Ahmad dan Abu Daud.
7. Sebisa mungkin tidak membuang air kencing ataupun kotoran pada lubang. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu hewan atau makhluk halus yang mungkin ada di situ. Hadits Qatadah dari Abdullah bin Sarjis ra., berkata, Rasulullah saw. melarang kencing di lubang. Ketika ditanya alasannya, Qatadah menjawab, "Karena lubang merupakan tempat tinggalnya jin." HR Ahmad, Nasai, Abu Daud, Hakim dan Baihaki.
8. Sebisa mungkin menjauh dari pepohonan yang dijadikan tempat berteduh, jalan yang dilalui orang, dan tempat persinggahan. Rasulullah saw. bersabda,
اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
"Hindarilah dua perkara yang dapat mendatangkan laknat dan kutukan dari orang!" Sahabat bertanya, "Apa itu?" Beliau menjawab, "Yaitu buang air di jalan yang dilalui manusia dan dijadikan tempat teduhan mereka." HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud.
9. Hendaknya tidak buang air kecil di tempat pemandian, air yang tergenang ataupun air yang mengalir. Abdullah bin Mughaffal ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي مُسْتَحَمِّهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فِيهِ فَإِنَّ عَامَّةَ الْوَسْوَاسِ مِنْهُ
"Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian membuang air kecil di tempat pemandian, lalu mengambil wudhu dari tempat itu. Sebab, kebanyakan was-was selalu berasal dari sana." HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi.
Jabir ra. menambahkan bahwa Rasulullah saw. melarang kencing di atas air yang menggenang atau air yang mengalir.
10. Hendaknya tidak kencing sambil berdiri karena tidak tenang, bertentangan dengan tradisi setempat, dan dikhawatirkan terkena percikan kencing. Namun, jika aman dari percikan dan diperlukan, maka dibolehkan.
Aisyah ra. berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah kencing dalam keadaan berdiri, maka janganlah kalian mempercayai ucapannya! Beliau tidak pernah kencing kecuali dalam keadaan duduk.” HR Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah, kecuali Abu Daud
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini merupakan hadits terbaik yang berkaitan dengan masalah etika saat buang air kecil dan termasuk hadits yang paling sahih.”
Apa yang dikatakan Aisyah ini berdasarkan atas pengetahuannya selama hidup bersama Rasulullah saw. Meskipun demikian, pernyataan yang dikemukakan Aisyah ini tidak meniadakan (mengingkari) adanya hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah ra.. Ia mengatakan, “Suatu ketika, Rasulullah saw. singgah di sebuah tempat pembuangan sampah. Lantas beliau membuang air kecil sambil berdiri. Melihat hal itu, aku segera menjauh tapi beliau berkata, ‘Mendekatlah ke mari!’ Aku segera menghampiri beliau hingga berdiri berdekatan dengan tumitnya. Kemudian aku melihatnya berwudhu dan mengusap kedua alas kakinya (khuf).”
Berkaitan dengan kedua hadits ini, Nawawi berkata, “Dalam pandanganku, kencing dalam keadaan duduk itu lebih baik. Tapi, jika seseorang kencing dalam keadaan berdiri, hal itu juga dibolehkan. Kedua kondisi tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah saw..”
11. Wajib membersihkan sisa najis yang masih ada pada tempat keluarnya najis dengan menggunakan batu ataupun benda padat lainnya yang suci dan dapat menghilangkan najis dan tidak termasuk benda yang dimuliakan. Atau hanya dengan menggunakan air. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits dari Aisyah ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تُجْزِىءُ عَنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai buang air (besar atau kecil), maka hendaknya ia beristinja’ dengan tiga buah batu karena yang demikian itu sudah mencukupi.” HR Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Daruquthni
Anas ra. berkata, “Ketika Rasulullah saw. masuk ke dalam jamban, aku dan orang yang sebaya denganku membawa seember air dan gayung. Lantas Rasulullah saw. bersuci dengan air tersebut.”
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, Rasulullah saw. pernah melintasi dua makam. Lantas beliau berkata, “Kedua penghuni makam ini dalam keadaan disiksa. Mereka tidak disiksa atas dosa besar; salah seorang dari mereka tidak bersuci setelah kencing dan yang satunya lagi, ia selalu mengadu domba saat berjalan.”
Anas ra. meriwayatkan sebuah hadits marfu’ yang berbunyi,
تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ
“Bersucilah kalian dari air kencing, sebab pada umumnya siksa kubur berasal darinya!”
12. Hendaknya tidak bersuci dengan menggunakan tangan kanan agar tangan kanan tidak sampai menyentuh barang yang kotor secara langsung. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Abdurrahman bin Zaid. Ia berkata, “Ada seseorang yang bertanya kepada Salman: ‘Apakah Nabimu telah mengajarkan segala sesuatu sampai masalah kotoran?’ Salman menjawab: ‘Iya. Tidak hanya itu, bahkan kami dilarang menghadap kiblat pada saat membuang air besar maupun air kecil. Kami dilarang bersuci dengan menggunakan tangan kanan. Kami dilarang bersuci kurang dari tiga biji batu. Dan kami juga dilarang bersuci dengan menggunakan barang najis atau tulang.” HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi
Hafshah ra. berkata, “Rasulullah saw. senantiasa menggunakan tangan kanannya untuk makan, minum, mengenakan pakaian, memberi dan menerima sesuatu, sementara tangan kirinya dipergunakan untuk perkara selain itu.” HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi
13. Setelah bersuci, hendaknya menggosokkan tangannya ke tanah atau mencucinya dengan sabun dan yang sejenisnya. Hal ini bertujuan agar bau tidak sedap yang masih menempel di tangannya hilang. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah ra.. Ia berkata,
إِذَا أَتَى الْخَلاَءَ أَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فِي تَوْرٍ أَوْ رَكْوَةٍ فَاسْتَنْجَى ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى الأَرْضِ
“Jika Rasulullah saw. masuk ke dalam jamban, aku membawakan air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit. Kemudian beliau bersuci (dengan air). Setelah itu, beliau menggosokkan tangannya ke tanah.” HR Abu Daud, Nasai, Baihaqi dan Ibnu Majah
14. Jika selesai kencing, hendaknya memercikkan air ke kemaluan dan celananya. Hal ini bertujuan untuk menghindari rasa was-was yang masih tersimpan dalam hati, sehingga pada saat ia melihat bagian yang basah, ia meyakini bahwa yang basah tersebut merupakan bekas percikan air. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Hakam bin Sufyan atau Sufyan bin al-Hakam ra.. Ia berkata, “Jika Rasulullah saw. selesai membuang air kecil, beliau terus berwudhu dan memercikkan air.”
Dalam riwayat yang lain, Hakam berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. membuang air kecil, kemudian beliau memercikkan air pada kemaluannya.”
Ibnu Umar juga selalu menyiramkan air pada kemaluannya sampai celananya basah.
15. Hendaknya mendahulukan kaki kiri ketika hendak memasuki jamban, dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari jamban sambil membaca doa,
غُفْرَانَكَ
“Aku memohon ampunan-Mu (ya Allah).”
Aisyah ra. berkata, ketika Rasulullah saw. keluar dari jamban, beliau membaca, Ghufranaka (Aku memohon ampunan-Mu (ya Allah).” HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, kecuali Nasai
Abu Hatim berkata, berkaitan dengan masalah ini, hadits yang bersumber dari Aisyah inilah yang paling sahih.
Ada juga sebuah riwayat dengan sanad yang dha’if, sebagai berikut, Bahwasanya Rasulullah saw. setelah buang hajat, beliau membaca doa,
اَلْـحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى اْلأَذَى وَعَافَانِى
“Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menghilangkan penyakit dariku dan memberi kesehatan kepadaku.”
Sesekali Rasulullah juga membaca doa berikut,
اَلْـحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى اْلأَذَى وَأَمْسَكَهُ فِى قُوَّتِهِ وَأَخْرَجَهُ عَنِّى أَذًى
dha’if, riwayat al-Hakam Ibnu Sufyan. Sebab, di dalam sanad maupun matannya terdapat kekeliruan. Walaupun demikian, hadits ini diperkuat oleh beberapa hadits lain yang serupa, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud [159]. Oleh karena itu, hadits ini tetap diklasifikasikan sebagai hadits shahih. Lihat Shahih al-Jami’ [4697] dan al-Misykāh [1361].
HR Ibnu Majah kitab ath-Thaharah, bab Ma Jaa fi an-Nadh bada al-Wudhu’ [464] dengan lafaz: “Rasulullah saw. pernah berwudhu lalu beliau memercikkan air pada kemaluannya.” Namun riwayat hadits ini dari jalur sanad Jabir, diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah [376].
HR Abu Daud kitab ath-Thaharah, bab Ma Yaqul ar-Rajul idza Kharaja min al-Khala’, jilid 1, hal. 7. Tirmidzi kitab Abwāb ath-Thaharah, bab Ma Yaqul idza Kharaja min al-Khala’ [7], jilid 1, hal. 12 dan beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi gharib.” Ibnu Majah kitab ath-Thaharah, bab Ma Yaqul idza Kharaja min al-Khala’ [300], jilid 1, hal. 110. Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 155. Ad-Darimi kitab ash-Shalah wa ath-Thaharah, bab Ma Yaqul idza Kharaja min al-Khala’ [686], jilid 1, hal. 139. Hadits ini diklasifikasikan sebagai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil [53]. Shahih al-Jami’ [4707].
HR Ibnu as-Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah [22], hal. 18. Ibnu Majah kitab ath-Thaharah, bab Ma Yaqul idza Kharaj min al-Khala’ [301], jilid 1, hal. 110. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits dha’if oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil [53]. Dha’if Ibnu Majah [301].
Komentar
Posting Komentar